Kamis, 17 Desember 2015

PARA PAKAR HADITS MERAYAKAN MAULID, PAKAR TAKFIR DAN BID'AH MENGHARAMKAN, SIAPA YANG ANDA PILIH? (M.A.V~313)

Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab, ia berkata, “(Nabi SAW) ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab, ‘Itu hari aku dilahirkan dan hari aku diutus –atau beliau berkata, ‘Hari (wahyu) diturunkan kepadaku’.”
(HR. Muslim dalam kitab shahihnya)

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi SAW bersyukur kepada Allah atas nikmat kelahiran beliau dengan berpuasa pada hari Senin. Salaf saleh sejak abad IV sudah terbiasa merayakan kelahiran Rasulullah SAW dengan menghidupkan malam maulid dengan berbagai amalan ibadah, seperti memberi makan, membaca Al-Qur'an, zikir, menyenandungkan syair dan pujian-pujian untuk Rasulullah SAW, seperti disebutkan sejumlah ahli sejarah dari kalangan para hafizh; Ibnu Jauzi, Ibnu Katsir, Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan penutup para hafizh, Jalaluddin As-Suyuthi, semoga Allah merahmati mereka.

As-Suyuthi berkata, “Merayakan maulid tidak menyalahi Al-Qur'an, sunnah, atsar, ataupun ijma’. Dengan demikian, perayaan maulid tidak tercela seperti disebutkan dalam pernyataan Asy-Syafi'i. Ini termasuk kebaikan tidak dikenal pada masa pertama, karena memberi makanan tanpa disertai dosa adalah perbuatan baik. Dengan demikian, perayaan maulid termasuk bid’ah yang dianjurkan seperti istilah yang disampaikan sultan para ulama, Izzuddin bin Abdussalam.”

Adanya Nabi SAW dan para sahabat tidak merayakan hari kelahiran beliau pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal setiap tahunnya, bukan berarti merayakan maulid bid’ah tercela, karena bid’ah tercela tidak termasuk dalam dalil syar’i yang berisi pujian. Ketika ada dalil yang memuji, berarti amalan tersebut bukan bid’ah tercela.

Dengan pemaparan diatas sudah seharusnya para penentang maulid mulai bisa menghargai pendapat para pakar ilmu hadits, bukan semakin menjadi-jadi dengan menyebarkan fatwa egois,
minimal mereka sadar diri bahwa mereka bukan ahli hadits dan hafizh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar