MENGAPA SAYYIDINA UMAR BERTAWASSUL PADA SAYYIDINA ABBAS?
Oleh Al-‘Alim Al-Faqih Al-Muhaddits, Syaikh Muhammad Zahid Al-Kautsari
M.A.V~313
Al-Bukhari dalam kitab istisqa`. Ia menyatakan dalam kitab
shahihnya; Dari Anas, bahwa ketika orang-orang tertimpa kemarau, Umar
bin Khaththab meminta hujan dengan perantara Abbas bin Abdul
Muththallib, lalu berkata, “Ya Allah! Dulu kami bertawasul kepada-Mu
dengan perantara nabi kami, lalu Engkau memberi kami hujan, dan (saat
ini) kami bertawasul kepada-Mu dengan paman nabi kami, maka berilah kami
hujan.’ Anas berkata, ‘Mereka diberi hujan’.”
Klaim
adanya mudhaf yang dibuang (yaitu dengan doa paman nabi kami) adalah
klaim semata tanpa hujah, seperti halnya anggapan beralihnya Umar kepada
Abbas –karena Nabi saw sudah meninggal dunia- merupakan kebohongan
terhadap Umar yang sama sekali tidak pernah terlintas di benak.
Bahkan,
hadits ini membolehkan bertawasul kepada orang yang derajatnya lebih
rendah meski adanya orang yang derajatnya lebih tinggi. Bahkan
bertawasul dengan kata-kata, “Dengan paman nabi kami,” adalah tawasul
dengan kekerabatan Abbas dengan Nabi SAW dan dengan kedudukan Abbas di
mata beliau. Dengan demikian, bertawasul dengan Abbas sama seperti
bertawasul dengan Nabi SAW juga.
Kata, “Dulu,
kami,” tidak khusus untuk masa hidup Nabi saw saja, tapi mencakup juga
masa sepeninggal beliau hingga tahun terjadinya paceklik. Pembatasan
dalam hal ini pembatasan tanpa pembatas.
Ibnu
Umar menirukan bait-bait syair milik Abu Thalib, “Si putih, awan
dimintai hujan dengan wasilah wajahnya,” seperti disebutkan dalam Shahih
Al-Bukhari. Bahkan diriwayatkan, Rasulullah saw meminta bait syair ini
disenandungkan, seperti disebutkan dalam Fathul Bâry.
Disebutkan dalam bait syair Hassan;
lalu awan menurunkan hujan dengan perantara wajah Abbas, seperti di sebutkan dalam Al-Isti'ab.
Catatan:
Tawasul
adalah masyru' (dianjurkan) menurut keyakinan Ahlusunnah, mengingat
banyaknya dalil maka tidak lah pantas seorang menyamakan tawasul dengan
syirik.
Metode wahabi salafi dalam berdiskusi bukan lah
metode yg populer dikalangan para ulama. Menghakimi men-vonis lalu
dicarikan dalil utk melegalkan fatwa mereka dan tidak mau menerima
pendapat orang lain.
Berbeda dengan metode
para ulama Ahlusunnah yaitu membawakan dalil, menyertakan pendapat
para pakar dibidangnya, dari ilmu tafsir dan hadis lalu pendapat fuqaha
baru lah mengambil kesimpulan. Itu pun mereka selalu mau menerima
perbedaan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar