Disadur dari kitab karya Al-Habib al-Faqih Muhammad bin Ahmad Asy-Syatiri RA.
Shalat
tanpa kekhusyu’an ibarat jasad tidak bernyawa dan ibarat pohon tidak
berbuah. Puncaknya, orang hanya shalat dengan cara tradisi (secara
otomatis) seperti untuk menghargai kemuliaan waktu di mana shalat
diwajibkan pada waktu itu dengan tujuan agar tidak berdosa karena
meninggalkannya.
Hanya saja, shalat ini
bukanlah jenis shalat yang mencegah kekejian dan kemungkaran seperti
yang ciri-cirinya telah dijelaskan sebelumnya saat kita berdalil pada
ayat “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji
dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabût [29]: 49)
Di
antara tanda-tanda kekhusyu’an dalam shalat adalah anggota badan tenang,
tidak bergerak, dan tenang secara sempurna saat berdiri maupun duduk.
Saat melihat orang bergerak-gerak saat shalat, Rasulullah saw bersabda,
“Andai hatinya khusyu’ niscaya anggota badannya tenang.”
Sebagian
ulama mensyaratkan kekhusyu’an untuk diterimanya shalat meski hanya
sebagian saja. Yang lain menyatakan khusyu’ adalah salah satu rukun
shalat.
Hasan al-Bashri rhu berkata, “Seseorang tidak mendapatkan apa pun dari shalatnya selain yang ia fahami.”
Sebagian
lain berpendapat ekstrim tentang tidak khusyu’ dalam shalat, ia
berkata, “Setiap shalat yang tidak menghadirkan hati di dalamnya lebih
cepat mengundang siksa.”
Ibnu Muqri berkata, “Kau shalat tanpa menghadirkan hati, maka kau mewajibkan hukuman.”
Banyak
sekali imam-imam yang memiliki kondisi mengagumkan yang memberi kita
gambaran indah tentang batas kekhusyu’an mereka saat shalat serta
menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang mukmin yang disebut-sebut
al-Qur'an dalam firman-Nya, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya.” (QS.
Al-Mukminûn [23]: 1-2)
Rasulullah saw
bersabda, “Dan penyenang hatiku dijadikan dalam shalat.” Artinya, hati
Rasulullah SAW bergembira dan senang saat shalat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar