Kelompok garis
tegang mengharamkan shalat di masjid yang ada kuburannya, dan secara tegas
mereka mewajibkan untuk menghancurkan kuburan atau masjid tersebut. Dengan
demikian, mereka melanggar ijma’ kaum muslimin dan mengusik perasaan mereka,
karena shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburan salah seorang nabi
atau orang saleh hukumnya sah dan disyariatkan, bahkan sampai pada tingkatan
dianjurkan.
Hukum ini
ditunjukkan oleh sejumlah dalil Al-Qur'an, sunnah, perbuatan sahabat, dan ijma’
praktis umat.
Dalil
Al-Qur'an; firman Allah, “Maka mereka berkata, ‘Dirikanlah sebuah bangunan di
atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.’ Orang yang
berkuasa atas urusan mereka berkata, ‘Kami pasti akan mendirikan sebuah rumah
ibadah di atasnya‘.” (QS. Al-Kahfi: 21)
Asy-Syaukani
menuturkan, pembangunan masjid yang disebut dalam ayat ini mengesankan bahwa
orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka ini adalah kaum muslimin.
Dikatakan; mereka adalah para sultan dan raja kaum muslimin, karena mereka
inilah yang menguasai urusan siapapun selain mereka. Pendapat pertama lebih
utama.
Salafi wahabi
mengharamkan hal ini dengan dalil hadits sebagai berikut ;
Pertama; hadits
Muslim; “Ketahuilah! Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kuburan
nabi-nabi mereka dan orang-orang saleh mereka sebagai masjid-masjid.
Ketahuilah! Maka janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai
masjid-masjid.”
Hadits Malik
dalam Al-Muwaththa`; “Ya Allah! Janganlah Engkau menjadikan kuburanku sebagai
berhala yang disembah. Berat murka Allah kepada kaum yang menjadikan kuburan
nabi-nabi mereka sebagai masjid-masjid.”
Hadits diatas
dipahami oleh para ulama dan pakar hadits sebagai berikut ;
Pertama;
larangan (mendirikan masjid di atas kuburan) disebabkan karena tauhid pada saat
itu belum tertanam kuat. Ini pendapat yang paling masyhur.
Kedua; atau
mengartikannya sebagai penyembahan terhadap orang-orang saleh selain Allah,
bersujud kepada kuburan-kuburan mereka, dan menjadikannya sebagai
sembahan-sembahan baru yang mereka samakan dengan Allah. Inilah yang paling
zhahir.
Ketiga; atau
dengan menakwilkannya dengan penakwilan lain yang tidak berbenturan dengan asas-asas
hukum. Inilah pendapat terbanyak.
Inilah yang
dipahami imam Ali ra., sehingga ia berbantal kuburan dan tidur di atasnya. Imam
Malik juga memahami seperti ini lalu ia shalat menghadap ke kuburan dan shalat
di atasnya setelah meriwayatkan hadits-hadits seperti ini dengan sanad shahih.
Imam Baidhawi
berkata –singkatnya demikian-; “Ketika mereka sujud kepada kuburan,
menjadikannya kiblat, shalat mengarah ke kuburan, dan menjadikannya sebagai
berhala-berhala yang disembah selain Allah, Allah melaknat mereka dan melarang
kaum muslimin melakukan hal itu.”
Setelah itu ia
berkata, “Adapun orang-orang yang mendirikan masjid di samping makam orang
saleh dengan maksud mencari berkah bukan untuk mengagungkan ataupun bersujud
kepada si mayit, ataupun menghadap kepadanya selain kepada Allah, berarti tidak
termasuk dalam ancaman tersebut.”
Al-Hafizh Ibnu
Hajar menukil nash ini dalam Fathul Bâry dan menjadikannya sebagai acuan.
Kalau pun
salafi tidak sependapat dengan ahli hadits, setidaknya mereka belajar sopan
santun menghargai pendapat para ulama diluar golongannya, karena semua pendapat
itu mungkin benar dan salah. Namun mengapa salafi selalu merasa benar dan yang
lain salah ?!
Contoh lain
adalah hadits berikut ini;
Setelah para
sahabat memutuskan untuk memakamkan Nabi SAW di kamar Aisyah, ternyata kamar
ini menempel dengan masjid tempat kaum muslimin shalat. Dengan demikian kaum
muslimin shalat di masjid yang melekat dengan kamar yang di dalamnya ada makam
Nabi SAW.
Ketika Abu
Bakar wafat, ia dimakamkan di samping Nabi SAW, sehingga masjid melekat dengan
sebuah kamar yang di dalamnya ada dua makam. Lalu saat Umar bin Khaththab
wafat, ia dimakamkan di samping keduanya, sehingga di dalam kamar yang menempel
dengan masjid ini ada tiga makam.
Kaum muslimin
tetap melaksanakan shalat di masjid yang kondisinya seperti ini dan tidak
seorang pun mengingkari hal itu. Sehingga hal tersebut sudah menjadi ijma’
praktis bahwa shalat di masjid yang terhubung dengan sebuah kamar yang di
dalamnya terdapat makam Nabi SAW dan kedua sahabatnya tidak haram.
Di masa
kekuasaan Umar bin Abdul Aziz di Madinah, tiga kuburan ini dimasukkan ke area
masjid, dan tujuh fuqaha Madinah menyetujui hal itu tanpa ada yang menentang
hal itu selain Sa’id bin Musayyib. Sa’id menentang bukan karena shalat di
masjid yang di dalamnya ada kuburan haram hukumnya, tapi semata karena ingin
tetap mempertahankan kamar-kamar Nabi SAW tetap seperti sedia kala agar kaum
muslimin bisa melihat kamar-kamar tersebut sehingga mereka bisa zuhud terhadap dunia
dan tahu seperti apa kehidupan nabi mereka.
Seperti itulah
seharusnya hadits-hadits ditakwilkan dan diarahkan. Memahaminya dengan
pemahaman Islami dalam lingkup iman hukumnya wajib dari segala sisi. Inilah
jalan para ahlul ilmi yang diwarisi generasi khalaf dari salaf. Ini namanya
keadilan dan agama. Bukan jalan menukil layaknya burung beo yang hanya bertumpu
pada klaim, fitnah, lebay, dan suka menyalahkan.
Ini lah
pendapat para ulama Ahlusunnah pendapat yang sangat mengedepankan ilmu, bukan
hanya memvonis kemudian baru dicarikan dalil dan disesuaikan dengan nafsunya.
Menerapkan
dalil yang tidak tepat adalah ciri Khawarij, ayat yang diturunkan untuk orang
kafir diterapkan untuk kaum muslimin. Ibnu Umar berkata, “Mereka mencari
ayat-ayat yang turun terkait kaum musyrikin lalu mereka terapkan kepada kaum
muslimin.”
Kenyataan
yang tidak bisa dipungkiri adalah tidak ada gereja kaum Nasrani ataupun tempat
ibadah kaum Yahudi seperti kondisi masjid-masjid kaum muslimin yang ada
makamnya, yang sebagian di antara kalangan garis tegang tetap bersikeras
menyatakan bahwa hadits ini disampaikan untuk larangan gambaran seperti yang
telah disebutkan di atas. Padahal jelas sekali tidak ada kuburan di dalam
gereja.
والله اعلم
بالصواب
Tidak ada komentar:
Posting Komentar