Mengenang Jasa Pahlawan Sultan Hamid II, menjelang detik
detik Peringatan Kemerdekaan RI
Sultan Hamid II yang juga sultan kedelapan dari Kesultanan
Kadriah Pontianak memiliki nama lengkap Sultan Habib Syarif Abdurrahman Hamid Alkadrie adalah
salah salah seorang keturunan nabi muhammad saw bermarga Alkadrie. Putra Sultan
Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan VII Kesultanan Pontianak, ini lahir di Pontianak
pada 12 Juli 1913. Ayahnya adalah pendiri Kota Pontianak.
Sultan Hamid II dikenal cerdas. Dia adalah orang
Indonesia pertama yang menempuh pendidikan di Akademi Militer Belanda (KMA) di
Breda Belanda–semacam AKABRI–dengan pangkat letnan dua infanteri pada 1936. Dia
juga menjadi ajudan Ratu Juliana dengan pangkat terakhir mayor jenderal.
Sultan Hamid adalah salah satu tokoh penting nasional
dalam mendirikan Republik Indonesia bersama rekan seangkatannya, Sukarno,
Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, Mr. Muhammad Roem, dan Muhammad Yamin.
Dalam sejarah pendirian RI, Sultan Hamid pernah menjadi Ketua Delegasi BFO
(Wakil Daerah/ Negara buatan Belanda) dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag,
Belanda, 23 Agustus 1949. Sultan Hamid juga menjadi saksi pelantikan Sukarno
sebagai Presiden RI di Keraton Yogyakarta pada 17 Desember 1949. Ini terlihat
dalam foto yang dimuat di Buku 50 Tahun Indonesia Merdeka.
Sepak terjangnya di dunia politik menjadi salah satu
alasan bagi Presiden Sukarno untuk mengangkat Sultan Hamid sebagai Menteri
Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat pada 1949-1950.
Sebenarnya, Sultan Hamid kurang pas dengan jabatan yang diembannya. Dia lebih
ingin menjadi Menteri Pertahanan Keamanan sesuai pendidikan yang diperolehnya.
Namun, posisi Menteri Pertahanan Keamanan justru dipercayakan pada Sultan
Hamengkubowono IX.
Dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia yang dimuat
dalam Buku 50 Tahun Indonesia Merdeka disebutkan, pada 13 Juli1945, dalam Rapat
Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, salah satu anggota Panitia, Parada
Harahap, mengusulkan tentang lambang negara.
Pada 20 Desember 1949, berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Serikat Nomor 2 Tahun 1949, Sultan Hamid Alkadrie II
diangkat sebagai Menteri Negara RIS. Dalam kedudukannya ini, dia dipercayakan
oleh Presiden Sukarno mengoordinasi kegiatan perancangan
lambang negara.
Dalam buku Bung Hatta Menjawab–Hatta saat itu menjadi
Perdana Menteri RIS–tertulis Menteri Priyono yang ditugaskan oleh Sukarno
melaksanakan sayembara lambang negara menerima hasil dua buah gambar rancangan
lambang negara yang terbaik. Yaitu Burung Garuda karya Sultan Hamid II dan
Banteng Matahari karya Muhammad Yamin. Namun, yang diterima oleh Presiden
Sukarno adalah karya Sultan Hamid II dan karya Muhammad Yamin ditolak.
Melalui proses rancangan yang cukup panjang, akhirnya
pada 10 Februari 1950, Menteri Negara RIS Sultan Hamid II mengajukan rancangan
gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang
berkembang. Hasil akhirnya adalah lambang negara Garuda Pancasila yang dipakai
hingga saat ini.
Rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II diresmikan
pemakaiannya dalam sidang kabinet RIS yang dipimpin PM RIS Mohammad Hatta pada
11 Februari 1950. Empat hari berselang, tepatnya 15 Februari, Presiden Sukarno
memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara karya Sultan Hamid II
kepada khalayak umum di Hotel Des Indes (sekarang Duta Merlin) Jakarta.
Pada 20 Maret 1950, bentuk final lambang negara rancangan
Menteri Negara RIS Zonder Forto Polio, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden
Sukarno dan mendapat disposisi persetujuan presiden. Selanjutnya Presiden
Sukarno memerintahkan pelukis Istana bernama Dullah untuk melukis kembali
gambar itu sesuai bentuk final dan aslinya.
Lambang negara ini diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 66 Tahun 1951 yang diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 111 dan
penjelasannya dalam tambahan Lembaran Negara Nomor 176 Tahun 1951 pada 28
November 1951. Sejak saat itu, secara yuridis gambar lambang negara rancangan
Sultan Hamid II secara resmi menjadi Lambang Negara Kesatuan RI.
Sebelum meninggal dunia, Sultan Hamid II yang didampingi
sekretaris pribadinya, Max Yusuf Alkadrie menyerahkan gambar rancangan asli
lambang negara yang sudah disetujui Presiden Sukarno kepada Haji Mas
Agung–Ketua Yayasan Idayu, pada 18 Juli 1974. Gambar rancangan asli itu
sekaligus diserahkan kepada Haji Mas Agung di Jalan Kwitang Nomor 24 Jakarta
Pusat.
Pada 5 April 1950, Sultan Hamid II dikait-kaitkan dengan
peristiwa Westerling sehingga harus menjalani proses hukum dan dipenjara selama
16 tahun oleh pemerintah Sukarno. Sejak itulah, nama Sultan Hamid II seperti
dicoret dari catatan sejarah. Jarang sekali buku sejarah Indonesia yang terang-terangan
menyebutkan Sultan Hamid sebagai pencipta gambar Burung Garuda. Orang lebih
sering menyebut nama Muhammad Yamin sebagai pencipta lambang negara.
Ada kesan Sultan Hamid II yang sangat berjasa sebagai
perancang lambang negara sengaja dihilangkan oleh pemerintahan Sukarno.
Kesalahan sejarah itu berlangsung bertahun-tahun hingga pemerintahan Orde Baru.
Dalam tesisnya, Turiman menyimpulkan, sesuai Pasal 3 Ayat
3 (tiga) UUD Sementara 1950 menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951
tentang Lambang Negara. Berdasarkan Pasal 23, 3, jo PP Nomor 60/1951 itu
ditentukan bahwa bentuk dan warga serta skala ukuran lambang negara RI adalah
sebagaimana yang terlampir secara resmi dalam PP 66/51, Lembaran Negara Nomor
111 serta bentuk lambang negara yang dimaksud adalah lambang negara yang
dirancang oleh Sultan Hamid Alkadrie II yaitu Burung Garuda.
Bukan lambang negara yang dibuat oleh Muhammad Yamin yang
berbentuk banteng dan matahari. “Sudah jelas bahwa lambang negara Burung Garuda
adalah buah karya Sultan Hamid Alkadrie II,” kata Turiman yang juga dosen
Pascasarjana Universitas Tanjungpura Pontianak.
Turiman menambahkan, sudah sewajarnyalah negara,
mengembalikan nama baik Sultan Hamid Alkadrie II sebagai pencipta lambang
negara yang terlepas dari masalah politik lain yang ditimpakan kepadanya.
Sejarah, kata Turiman, harus diluruskan agar anak cucu tidak ikut-ikutan salah
termasuk memberikan penghormatan kepada Sultan Hamid Alkadrie II sebagai
pahlawan nasional seperti halnya W.R. Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya.
Hal yang sama juga disuarakan Sultan Syarif Abubakar
Alkadrie–pemegang tampuk kekuasaan Istana Kadriah Kesultanan
Pontianak–yangmenjadi ahli waris Sultan Hamid Alkadrie II. Menurut dia, negara
pantas memberikan penghargaan terbaik kepada almarhum Sultan Hamid Alkadrie II
atas jasanya menciptakan lambang negara Burung Garuda. Penghargaan yang tepat
adalah pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sultan Hamid Alkadrie II.
Sultan Syarif Abubakar mengatakan, sejarah harus diletakkan
pada porsinya semula. Pemutarbalikan fakta sejarah yang terjadi saat ini sangat
merugikan generasi mendatang. Sebab, mereka tidak akan pernah tahu tentang
pencipta lambang negaranya, Burung Garuda.
Untuk mengembalikan fakta sejarah yang sebenar-benarnya
mengenai pencipta lambang negara Burung Garuda yang dirancang oleh Sultan Hamid
Alkadrie II ini, pihak ahli waris dan Pemerintah Kalbar serta Universitas
Tanjungpura pernah menyelenggarakan seminar nasional di Pontianak. Ketua DPR
Akbar Tandjung juga hadir dalam acara yang berlangsung pada 2 Juni 2000. Saat
itu, Akbar Tandjung yang Ketua Umum Partai Golongan Karya juga mengusulkan agar
nama baik Sultan Hamid Alkadrie II dipulihkan dan diakui sebagai pencipta
lambang negara. Sayangnya, usulan itu cuma sampai di laci ketua DPRD saja tanpa
ada langkah lanjutan hingga detik ini.
Sultan Hamid Alkadrie II melewati masa kecilnya di Istana
Kadriah Kesultanan Pontianak yang dibangun pada 1771 Masehi. Dia sempat
diangkat sebagai Sultan Pontianak VII pada Oktober 1945. Sultan Hamid II juga
pernah menjadi Kepala Daerah Istimewa Kalbar pada 1948. Foto- foto Sultan Hamid
Alkadrie II dan karya besarnya lambang negara Burung Garuda di Balairung Istana
Kadriah Kesultanan Pontianak.
Sejarah dengan fakta2 adalah anugerah bagi NKRI. Semoga Presiden meluruskan segala bentuk kesalahan yang disengaja atau tidak. EffertRoms022019
BalasHapus